Showing posts with label artikel. Show all posts

Negeri Para Koruptor


Negeri Para Koruptor

Jeruji besi adalah sebuah tanda pebghukuman atas sebuah kejahatan, tidak ada kata perlakuan yang berbeda jika hukum sudah benar benar ditempa, tetapi apalah daya jika negeri diperbudak jabatan.. Jik para koruptor bermewah mewahan dibalik Jeruji besi, apalah arti sebuah penghukuman kata najwa sihab. jangan pernah berharap ada kata "JERA" jika kebijakan belum sepenuhnya "MENJERAKAN". Bagaimana bisa penjaranya koruptor sama seperti gubuknya masyarakat di dunia luar.

Dibalik Jeruji besi, para koruptor bisa berleha leha, tetapi diluar sana, ada banyak orang yang hidupnya susah karena kebiadaban mereka. Lantas, masihkah pantas mereka diberlakukan istimewa? Cobalah lihat perbedaan antara dua narapidana, yakni koruptor dan narapidana yang bukan koruptor. Narapidana koruptor, diberi atau tidak, dijinkan atau tidak, nyatanya segala macam fasilitas, ada leptop, hp, Android, tv, dan kemewahan lainya terpampang di jeruji mereka. Petinggi penjara mungkin akan berkata, "kami tidak tahu, kami kecolongan" ketika ada yang sedang menginterogasi.. Mungkin saja mereka bisa katakan itu sedemikian rapi dengan rupa yang tak rapuh. Sekarang mereka bisa saja mengamankan semua keistimewaan itu, tetapi setelah itu berlalu, semua keistimewaan itu pasti akan berbalik juga. Miris, disisi lain, narapidana yang bukan korupsi, bui mereka jauh dri kata layak, seakan keadilan hanya milik kaum berharta. Diluar mereka mungkin hidup tak layak, hunian mereka tak pantas, tetapi dibalik jeruji besi malah tambah melarat. Tetapi, inilah bentuk keadilan di bumi khatulistiwa. Adil yang hanya bisa dikecapi lewat puing-puing Rupiah.
Hukuman para koruptor, dinegri ini masih terlalu ringan, para pembuat UUD pun enggan untuk membuat hukum yang lebih ketat dari sekedar memenjarakan.. Toh, ketika dipenjara, mereka hidup dengan layak. Lalu, dimana makna penghukuman?

Tak ada yang membedakan para koruptor dengan pelaku pembunuhan, pelaku narkoba, pengedar dan laina laina. Karena mereka semua adalah sama sama penjahat. Lalu kenapa ketika mereka sama sama penjahat harus ada yang disittimewakann dan yang dianak tirikan? Dan yang harus di anak tirikan adalah para koruptor. Bukan malah mereka. Ketika seperti itu, hukum dinegri ini perlu dipertanyakan? Kepada siapa kita harus bertanya?otomatis kepada pembuat undang undang. Andai pembuat undang undang dan seluruh jajaran nya ini adalah mereka yang benar benar taat terhadap aturan, otomatis mereka akan membuat undang undang yang lebih rapat buat para koruptor, seperti ditembak mati atau digantung mungkin, bahkan dipenjarakan seumur hidup. Menurut kaca mata saya, para pembuat undang undang ini takut, seandainya mereka memperlakukan hukum seperti itu, bisa bisa hukum yang mereka buat memangsa tuanya sendiri.
Yankinlah, selama hukum dinegeri ini masih pas-pasan dan pas diongkos para koruptor, maka semua akan tergadaikan dan terbeli oleh mereka.. Karena merka itu bergelimang harta, sehingga hukum bisa tergadaikan. Bisa berkaca sendiri pada kasus-kasus yang sudah ada.

Andaikan hukum koruptor bisa menjerakan, tidak mungkin populasi korupsi di negeri ini meraja lela. Seharusnya lembaga pembuat undang undang segera melirik aturan yang telah gagal melumpuhkan korupsi yang sudah terstruktur sedemikian rapi,yang otomatis telah merugikan negara, lebih-lebih rakyat nya. Lalu, pantaskah bui mereka diistimeeakan? Mari menoleh sejenak, lebih merugikan mana satu orang membunuh dua orang, jika dibandingkan satu orang petinggi negara yang merogok Miliaran rupiah uang rakyat dari sabang sampai Merauke? Lebih besar mana dampak negatif yang ditimbulkan? Otomatis jawabnya adalah pencuri uang rakyat. Hukum dinegeri ini semakin dipertanyakan ketika dibanyak kasus, contohnya, ada nenek yang hanya mengambil tiga buah Kakao, mengambil kayu jati, dan lain lain, yang tentunya tidak asing ditelinga kita, dari mereka ada yang didenda beejuta juta, ada yang dipenjara bulan ke tahun. Kasus kasus seperti inilah yang membuat semakin besarnya krisis kepercayaan di negeri ini. Jika Hukum sudah menyentuh golongan berduit makan akan tumpul dan tak berdaya, sebaliknya jika sudah menemukan korban di kalangan bawah maka semakin runcing dan kalangan berduit akan berkicau bahwa INDONESIA adalah negara hukum. 

Jika boleh berkaca dibeberapa negara pemberlaku hukuman menjerakan bagi koruptor seperi, hukuman tembak mati bagi negara cinta, gantung di malaysia, penjara Minimal 5 thun plus denda 2 juta US dolar di Amerika bahkan jika korupsi berat dibuang dr negara nya, penjara seumur hidup di Belanda dan Jepang hukum MEMPERmalukan PELAKU. Dinegera negara tersebut sebelum adanya hukum tersebut populasi koruptor membabi buta, hukum yang menguntungkan pihak borjuis masih diberlakukan, tetapi tidak lantas mereka berjalan ditempat, negara negara ini memutuskan untk mencoba meberlakukan hukum gantung/mati, hukum yang senekad ini mereka buat tentu banyak manuai kendala, kritikan, dan cekaman dari berbagai pihak. Tentu yang mencekam itu adalah bukan orang orang biasa, mereka adalah orang orang yang berpotensi akan melakukan kejahatan korupsi. Setelah pemberlakuan hukum tersebut perkembang biarkan bibit koruptor menurun drastis. Meski tidak sampai PUNAH, karena berbicara pemberantasan korupsi tidak hanya membicarakan hukum dan sistem, tetapi juga berbicara peran serta masyarakat dan lingkungan.

Nah! Yang ingin saya pertnayakn adalah kenapa negeri ini belum mau belajar dari keberhasilan dari negara pemberlakku hukumam BERAT? Negeri ini malah asyik dan sibuk memberikan remisi atau pengurangan masa tahanan Jika sudah tiba hari raya (idul fitri). apa yang salah dengan aparatur negeri ini?
Saya meyakini bahwa, ketika coretan anak nusantara ini di buat, pasti akan banyak yang mengatakan, "pintar menkritisi tetapi miskin solusi dan tindakan".. Tetapi keyakinan saya adalah mengkritik adalah salah satu cara penyadaran mental. Lewat menkritisi kita bisa menemukan sesuatu yang tersembunyi. Lewat menkritisi kita bisa saling silang argumen. Dan melalui menkritisi kita bisa mengetahui tata ruang yang kurang dari sebuah pergerakan sehingga kelak akan menuai kata solusi yang soluktif.


‪#‎watch‬ it on YouTube: Mata najwa edisi 2 maret 2016 dan compare it to Mata najwa penjara bintang lima para koruptor.
(komentar dri dua tayangan mata najwa diatas.. salam anti korupsi, Fatihurrahman.)

Politik Bima- Mbojo


Suara MAK
Oleh: Hitaf Tanu



Mak, aku tahu sebentar lagi suara mu akan diperhitungkan, aku juga tahu kau tidak begitu tahu mana diantara mereka yang patut kau berikan suara mu. Tapi yakinlah semua dari mereka itu adalah pantas. Sudah beberapa  hari berlalu, suara teriakan kiri dan kanan mu begitu menggema. Tapi kau tetap tidak tahu, apa gerangan suara mengusik telinga itu, hanya satu dari kian ribu hal yang kau tahu, mereka adalah orang-orang yang berjas dan berdasi, bersepatukan yang menyilaukan mata. Mereka adalah calon nahkoda tanah di mana engkau dan aku  ditumpahkan. Begitu banyak tim sukses yang silih berganti, siang malam, datang bergantian. Hanya untuk mengemis satu suara polos mu. Apakah merek tidak baik? Mereka juga orang baik mak.  
Mak, sekarang kau begitu diinginkan oleh mereka yang dibalut jas-jas bermerek. Sekarang kau bagai ratu semalam. Segala ingin mu mereka penuhi. Mereka begitu baik. Tapi baik yang semoga tidak hanya singgah untuk keperluan sesaat, sepeti yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam.
Mak, kau amatlah polos, sebab semua hal yang mereka    ceritakan, kau ceritakan pula pada kami. Tetapi dengan kepolosan mu, membuka semua tabir-tabir hitam yang ada di balik licinnya pakain yang mereka kenakan. Dibalik terhormatnya kulit epidermis mereka. Sekarang aku tahu semuanya. Meski aku tak mampu untuk menghentikan semua itu. tapi yakinlah, akan ada orang yang bisa menjatuhkan dan merobohkan tabir-tabir itu. seperti yang terjadi pada masa rezim suharto, saat itu ada Bang iwan fals, yang selalu meneriakan perlawanan-perlawananya lewat lirik-lirik lagu yang ia nyanyikan. sekarang bang iwan sudah renta mak, dan masa karya-karya pro rakyatnya pun mungkin sudah tidak sekuat pada masa kediktatoran suharto. Akan ada yang lebih dari itu, yang akan siap merobohkan tembok hitam itu.
Mak, doakan kami, sebagai generasi penerus bangsa, yang insya Allah., semoga bisa menjadi penerus yang terhindar dari kata KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME. Semoga kami bisa bergerak tanpa ada embel-embel politik. Semoga krisis politik sehat di masa sekarang tidak  terjadi di masa kami.
Mak, Sudah berapa banyak orang berdasi naik turun ke gubuk mu? Mungkin sudah terlalu banyak, sampai sampai kau lupa bagaimana garis wajah mereka. Aku tahu kau tak pernah peduli siapa yang nantinya akan duduk di kursi yang harganya bermiliyaran itu. kursi termahal sepanjang sejarah kemanusiaan. kau juga tak pernah tahu, begitu banyak orang yang merauh keuntungan dari kegiatan yang diadakan setiap lima tahun sekali itu. karena kau begitu polos akan hal yang berbau politik. Yang kau tahu adalah memilih karena dikasih kertas berwarna biru dan merah. Kau pun tak tahu dibalik pemberian itu, suara mu telah terbeli dengan harga sekian ratus ribu dengan keuntungan sekain miliaran Rupiah yang berpihak didompet mereka. Tapi ingatlah Mak, semoga yang terpilih adalah yang bisa mengubah pahit menjadi manis, mengubah gelap menjadi terang, yang bisa mengubah sempit menjadi luas. Dan itu menjadi harapan kita semua.
Mak, senyummu begitu menyeka, bersinar membinar, memudarkan garis-garis keriput di wajahmu, tetapi akankah senyum itu terus memekar sama seperti hari di mana mereka mengicaukan beribu patah manis. Masihkah mereka mau datang ke gubuk tua mu kelak jika mereka sudah terpilah dan terpilih? Masihkah? Itulah yang selalu aku semogakan. Ataukah nanti mereka akan terlalu sibuk, bahkan mendengar keluh, kesahmu saja tak sempat. Mendengar bunyi perut lapar saja mungkin akan diabaikan. Dan sampai memudar pula senyum itu dari wajahmu. Mereka akan terlalu sibuk, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menutupi lubang dompet mereka yang sempat terkuras saat pesta lima tahun sekali itu. jika hal demikian terjadi, mulut banyak membusa, berteriak ke sana ke mari. yang awalnya pro menajdi kontra, dan yang kontra makin menjadi-jadi. Lalu, pantaskah aku, mak, dan kamu mengkritisi kinerja mereka. Di sana mengatakan pantas, karena haknya tidak dipenuhi, sedang di sini bersorak tak pantas, karena suara kalian telah ku beli dengan rupiah. Lalu siapaa yang patut untuk disalahkan? Apakah takdir? Tidak demikian. Tapi yakinlah, diantara sekian orang itu, akan ada yang mengubah asa menjadi manis asi kehidupan, yang mengubah lapar menjadi kenyang dan untuk mencapai semua itu, kuncinya ada ditangan mak-mak semuanya. Bukan di tangan kami yang berada diperantauan ini.

contoh makalah bahasa indonesia tentang Kepunahan Bahasa Lokal Di Indonesia Di Era Globalisasi




Kepunahan Bahasa Lokal Di Indonesia Di Era Globalisasi :
Jawa Krama Inggil Diambang Kepunahan
Oleh:  Fatihurrahman

1.     PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan mahkluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai mahkluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa untuk menyampaikan pikiran dan pesan yang ingin disampaikan kepada lawan bicaranya. Menurut Kridalaksana (1982), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dari pendapat diatas dapatlah disimpulkan bahawa tanpa bahasa manusia akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi satu sama lain. Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Di dunia ini jumlah bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi  mencapai 6912 dan 700 dari 6912 bahasa itu  ada di Indonesia. Data yang sama juga didapat dari Pusat Bahasa (dalam Darmojuwono, 2011) menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Indonesia lebih dari 700 bahasa daerah. Bahkan, didalam satu suku terdapat perbedaan bahasa, baik dari aspek penggunaan kosa kata maupun dari aspek dialek misalnya, dalam suku Jawa terdapat perbedaan antara bahasa Jawa di daerah Yogyakarta dengan bahasa Jawa di daerah Surabaya bahkan Surbaya dengan Malang pun memiliki perbedaan meski tidak sesignifikan dengan Yogyakarta. Hal ini bisa saja disebabkan oleh ke dua aspek di atas. Seperti yang dikatakan Chaer (2010) dalam bukunya yang berjudul sociolinguistik: perkenalan awal. Dia mengatakan bahwa, hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di masyarakat.
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Jawa untuk berkomunikasi didalam kehidupan masyarkat Jawa. Oleh karena itu, bahasa Jawa merupakan  first language atau mother thouge atau dalam bahasa Indonesia “bahasa Ibu”. Menurut Masinambouw (dalam Crista, 2012:2), yang mengatakan bahasa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, sehingga di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku didalam budaya itu. Adanya berbagai macam kelompok masyarakat menyebabkan timbulnya ragam  penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan kondisi sosial– tua-muda, kaya-miskin, si penutur. Oleh karena itu, bahasa Jawa memiliki banyak ragam, serta penggunaannya pun disesuaikan dengan strata sosial seseorang seperti jenis Jawa Ngoko, Krama– baik Inggil maupun Madya.
Banyaknya jenis bahasa Jawa menjadi kekuatan tersediri bagi para peneliti, untuk mencari tahu jenis bahasa Jawa mana– Ngoko, krama Inggil, Krama Halus dan Krama Madya, yang terancam tersisih di era globalisasi ini. Sebagai peneliti, saya yakin bahwa di antara jenis-jenis bahasa tersebut ada yang menjadi bahasa minoritas. Di era modern ini, beberapa orang berpendapat bahwa, bahasa Indonesia berada dalam bahaya karena globalisasi, dalam kasus ini, kita tahu bahwa bahasa yang berada dalam bahaya ketika speakers atau penuturnya yang kurang dari 50 persen. Sebuah definisi terkait minority language, atau bahasa minoritas yang diberikan oleh PBB (dalam Chaklader: 1981):
“The term minority includes only those non dominant groups in a population which possess and wish to preserve stable, ethnic, religious or linguistic traditions or characteristics markedly different from those of the rest of the population (UN Yearbook for Human Rights 1950:490; quoted in Chaklader 1981:16).”
Istilah minoritas hanya mencakup kelompok-kelompok non dominan dalam populasi yang memiliki dan ingin melestarikan stabilitas, etnis, agama atau bahasa, tradisi atau karakteristik nyata yang berbeda dengan orang-orang dari seluruh penduduk (UN Yearbook for Human Rights 1950:490; dikutip dalam Chaklader 1981:16).” 
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dikatakan minoritas ketika suatu etnis, bahasa dan agama memiliki sedikit jumlah penutur ataupun pengikut didalam suatu golongan masyarakat. Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10) mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Kami setuju dengan pendapat di atas, jika segolongan orang ini mati sebelum mereka mengajarkan bahasa kepada para penerusnya maka mati pula lah bahasa tersebut dan peradabannya akan ikut lenyap bersamaan dengan hilangnya bahasa tersebut.
Dari penelitian yang peneliti lakukan secara oral atau wawancara menemukan bahwa dari beberapa jenis bahasa Jawa yang disebutkan di atas, bahasa Jawa yang sedang dalam ambang kepunahan adalah jenis Krama Inggil, yang mana hanya digunakan di kalangan para orang tua dan sebagian kecil anak muda. Dan juga tidak semua orang tua juga paham terhadap bahasa ini. UNESCO mengatakan:
"When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.”
Generasi muda suku Jawa sudah sepantasnya melestarikan bahasa Jawa demi kelangsungan dan tetap terjaganya bahasa Jawa di pulau Jawa khususnya bahasa Jawa Krama Inggil. Apalagi, bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama dan tata krama berbahasa menunjukkan budi pekerti pemakainya. Itulah kenapa pentingnnya mengetahui kedudukan bahasa mengembangkan peradaban manusia. Oleh karena itu, dengan mengetahui kedaan bahasa di era yang semakin modern ini sangat lah penting. Disamping itu, penanaman nilai-nilai akan pentingnya menjaga  dan melestarikan bahasa, dalam  hal ini bahasa Jawa Krama  Inggil menjadi pekerjaan rumah bagi semua orang, terkhususnya para generasi muda. Penjelasan lebih rinci akan dijelaskan di pembahasan.  
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti dari penelitian ini adalah yang tercangkup dalam rumusan masalah umum dan khusus yaitu:
          1.2.1. Rumusan masalah umum
          Rumusan masalah umum dalam makalah ini yaitu “bagaimana pengaruh globalisasi terhadap eksistensi dan kepunahan bahasa lokal di indonesia?”
            1.2.2. Rumusan masalah khusus
                     Rumusan khusus dari makalah ini adalah:
   1. Bagaimanakah tanggapan masyarakat jawa terhadap keberadaan Bahasa Jawa      Krama Inggil Di Era Globalisasi?
            2.   Apakah ada hubungan antara punahnya bahasa lokal dengan Era Globalisasi?
3. Bagaimanakah cara untuk melestarikan Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancaman kepunahan?

2.    PEMBAHASAN
2.1  Tanggapan Masyarakat Terhadap Keberadaan (eksistensi) Bahasa Jawa Di Era Globalisasi
Bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang sifatnya arbitrer, yang mana setiap orang bisa memberikan makna suatu kata sesuai dengan kesepakatan suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, kata yang serupa akan memiliki makna yang berbeda dengan daerah lain. Hal ini sesuai dengan apa yang katakan oleh Kridalaksana (2001), dia mengatakan bahwa “bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer......”. Bahasa dalam hubunganya dengan masyarakat memiliki fungsi sebagai alat untuk berinteraksi sosial, karena sebagia manusia yang bersifat sosial sehingga kebutuhan bahasa adalah sangat penting. Ketika berbicara tentang bahasa maka tidak akan pernah dapat dipisahkan dari budaya seperti yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Herman, 2009:1), seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Pendapat Piaget juga didukung oleh Chaer (2003:61) menyatakan, jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan suku Jawa dalam berkomunikasi. Dalam penggunaan bahasa Jawa harus memperhatikan tingkatan orang yang diajak bebicara, karena bahasa Jawa terdiri atas beberapa tingkatan, salah satunya adalah yaitu Krama Inggil, yang sekarang meluntur seiring dengan  perkembangan jaman. Dalam hal berkomunikasi, masyarakat Jawa mengenal banyak variasi bahasa. Berikut adalah tingkatan bahasa dan penggunaannya :
  1. ngoko lugu biasa digunakan untuk teman sebaya, pada yang lebih muda, pemimpin pada bawahan, dan berbicara sendiri.
  2. ngoko alus digunakan untuk menghormati mitra tutur yang sedang dibicarakan.
  3. krama inggil digunakan untuk orang yang lebih muda pada orang yang lebih tua,bawahan pada atasan.
  4. Krama inggil sungko digunakan oleh para orang tua yang faham dan biasanya oleh raja-raja, seperti di situasi formal keraton.
Itulah beberapa jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang disesuaikan dengan tingkat strata sosialnya. Oleh karena itu, para pemuda harus bisa menguasai jenis bahasa tersebut untuk menjaga kesantunan ketika melakukan interaksi langsung dengan teman sebaya sampai orang yang lebih tua darinya.
Ketika penguasaan bahasa Krama Inggil buruk bahkan tidak bisa sama sekali, maka budaya rasa hormat dari yang muda ke yang tua akan lenyap. Lagi-lagi karena ketidak pahaman mereka terhadap bahasa sehingga memberikan danpak buruk terhadap budayanya, bahkan dampak itu bisa menghilangkan budaya yang telah dianut sejak nenek moyang suku Jawa.  Keberagaman jenis bahasa selalu merefleksikan tata nilai dan norma yang ada didalam tatanan masyarkat Jawa. Adanya perbedaan jenis bahasa Jawa menandakan adanya perbedaan strata sosial masyarakatnya. Akan sangat aneh ketika bahasa Jawa atau bahasa apapun hanya memiliki satu jenis bahasa, misalnya masyarakat Jawa hanya memiliki jenis bahasa seperti Jawa Krama. Satu jenis bahasa ini akan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya. Komunikasi antar teman sebaya akan terlihat kaku dan lain sebagainya. Walaupun semakin banyak jenis bahasa Jawa memberikan dampak terhadap lahirnya bahasa mayoritas dan minoritas.
Di era yang semakin berkembang ini, dunia seakan menawarkan kehidupan yang serba canggih, penggunaan alat-alat modern sudah menembus ke pelosok-pelosok desa. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Jawa seakan terlena akan kehidupan mewah itu. Walaupun sangat berpengaruh positif dari sisi ekonomi, politik dan kemudahan berinteraksi. Contoh kecilnya adalah, ada seorang mahasiswa yang terpaksa kuliah di luar negeri karena tuntutan pendidikan, fashback ke jaman dahulu, dimana orang-orang menggunakan telegram untuk  berkomunikasi atau saling tukar informasi, tapi sekarang, di abad ke 21 ini mereka seakan dimanjakan oleh produk akal manusia, yang disebut sebagai teknologi. Globalisasi disamping membawa pengaruh posotif, juga memberikan danpak negatif terhadap penggunaan bahasa Jawa. Sehingga tidak sedikit dari pengamat bahasa  mengatakan “wong Jawa ilang Jawane” yang artinya adalah orang Jawa sekarang telah luntur nilai kejawaannya.
Istilah “wong Jawa ilang Jawane ini merangkak dari fakta mirisnya pengguna Bahasa Jawa Krama, khususnya Krama Inggil. Banyaknya  para pemuda yang tidak paham terhadap penggunaan bahasa yang santun ini–Krama Inggil, membuat para lingust (ahli bahasa) dan para orang tua khawatir akan punahnya bahasa tersebut. Padahal, menciptakan suatu bahasa itu sangat sulit. Kekhawatiran mereka juga didukung oleh adanya lembaga PBB mengatakan bahwa, bahasa didunia ini setiap 2 minggu sekali ada  satu bahasa yang hilang. Hal ini semakin membuat miris para generasi tua dan para pemerhati budaya Jawa.
Di era globalisasi seperti saat ini, peran orang tua dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa Krama Inggil sangat miris, kebanyak para orang tua menggunakan bahasa Ngoko, Krama Madya dan bahasa Indonesia padahal dalam kontek ini, Krama Inggil lah yang menjadi central fokus mereka. Ketidaktahuan mereka akan kepunahan bahasa Krama Inggil dan kurangnnya peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi terhadap masyarakat menambah ketidaktahuan mereka. Sebenarnya, orang tua dan pemerintahlah yang harus menjadi agen pemberdaya dan pengamat bahasa. Bukan malah para pengamat bahasa yang mengatas namakan organisasi atau lembaga diluar pemerintahan. 
Dari puluhan ribu kosa kata bahasa Jawa Krama Inggil, hanya sedikit yang memasyarakat di semua lapisan masyarakat, seperti “enggeh, dalem” Itu hanya sepenggal kata yang bisa diucapkan oleh anak-anak jaman sekarang.
 Menurut hasil wawancara saya dengan salah seorang pemuda Jawa tulen­–asal Kediri, dia mengatakan bahwa, “penutur bahasa Jawa Krama Inggil merupan presentase paling sedikit diantara jenis bahasa Jawa yang lain dan  persentase itu tidak lebih dari 40 persen penuturnya.” Hal ini adalah fakta, saya masih ingat ketika melakukan kegiatan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) tahun 2014, yang bertempat di Malang Selatan, di Kecamatan Pagak, desa Sumber Kerto selama kurang lebih satu bulan. Kami waktu itu dua belas anak, ketika kami melakukan silaturahmi dengan masyarakat disekitar desa Sumber Kerto, dimana masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil, kami mengalami kesulitan. Padahal sebelas dari dua belas anak itu adalah keturunan asli jawa. Dan hanya 2 diantara mereka yang paham dan bisa menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil dengan baik dan benar. Hal serupa pun terjadi di hampir semua kelompok yang tersebar di  berbagai pelosok kota dan kabupaten Malang pada saat itu mengeluhkan hal yang sama.
Contoh di atas merupakan  potret nyata bahwa bahasa Jawa Krama Inggil disamping minoritas juga  berada di ambang kepunahan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan model pengajaran yang ada di rumah dan lingkungan sekitar juga. Orang tua yang tidak membiasakan anak-anaknya untuk menggunakan bahasa Krama Inggil, lebih suka dengan menggunakan Bahasa Jawa Ngoko atau Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat sepele, namun dapat melumpuhan eksistensi Krama Inggil sebagai Bahasa khas tanah Jawa yang akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak jaman sekarang.
2.2 Hubungan Antara Punahnya Bahasa Krama Inggil Dengan Era Globalisasi
Bahasa semakin berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Menurut Raharjo (dalam perkuliahan sociolinguistics), dia menjelaskan:
“Language is like human beings, it grows and it may die due to certain reason. Due to its grows hamonious with the developmet of the world,  no language which does not change, therefore the growth of a language is in line with the growth of social development, scientific and technological development (2015). Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya (1957).
Dari penjelasan di atas, saya dapat menarik kesimpulan bahwa ketika berbicara tentang bahasa, maka akan sangat sulit dipisahkan dengan era atau jaman di mana masyarakat penutur bahasa itu berada. Keberadaan bahasa menjadi sangat penting di era globalisasi. Bahasa berperan penting dalam pembangunan dan perkembangan teknologi. Dengan bahasa manusia berkarya. Dengan kata lain, peradaban manusia akan selalu berkaitan erat dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya. Sehingga ada istilah yang mengatakan bahwa hilangnya atau punahnya suatu bahasa maka peradaban manusia akan ikut punah. Hal ini sejalan dengan, UNESCO mengatakan bahwa “ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga–sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.”

2.3 Cara-Cara Untuk Melestarikan Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancaman kepunahan
Ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah dari kepunahan seperti, melakukan dokumentasi bahasa, membiasakan pemggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Laksono, Dari berbagai pengalaman–selain melindungi penutur asli serta penyelenggaraan kongres dan seminar tentang kebahasaan, yang akhirnya diusulkan beberapa upaya revitalisasi serta pelestarian dan pengembangan bahasa daerah yakni dengan:
1.  melakukan pendokumentasian;
2. melakukan penggunaan bahasa/pembiasaan dalam berbicara (sekaligus menyimak)   pembiasaan dalam menulis (sekaligus membaca) dan pembelajaran yang komunikatif
3.  melakukan kreativitas dalam penggunaan bahasa
5.  menyumbangkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia
6.  melakukan penyusunan modul bahasa daerah supaya bahasa daerah dapat dipelajari oleh semua orang
Perlu diingat bahwa cara yang paling baik untuk mematikan sebuah bahasa adalah dengan mengajarkan bahasa lain dan membiasakannya. Oleh sebab itu, pemerintah daerah (pemprov/pemda) dan perguruan tinggi perlu mengurus dan mengatur pengembangan bahasa daerah, baik yang terdapat dalam masyarakat umum maupun yang berlaku di sekolah-sekolah. Pemberlakuan kurikulum juga harus diterapkan disekolah-sekolah formal, sebagai wadah pengajaran bahasa jawa krama inggil. Meskipun sejak tahun 2006 kurikulum pembelajaran bahasa jawa sudah diterapkan di hampir seluruh instansi formal, tapi belum terfokus pada bahasa Jawa Krama Inggil. Sehingga penerapan kurikulum ini masih belum efisien, sehingga yang harus diperhatikan adalah penerapan kurikulum yang sampai sekarang dikenal dengan istilah “Muatan Lokal”, dimana didalamnya akan diajarkan tentang kearifan lokal suatu daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah Jawa menfokuskan pada pembelajaran bahasa Jawa dan itu hanya berlaku ditingkat SD dan SMP sedangka di tingkat SMU/MA/SMK kurikulum ini tidak diberlakukan. Oleh karena itu, pentingnya mengetahui bahasa minoritas dalam hal ini Bahasa Jawa Krama Inggil akan membantu masyarakatnya untuk mengetahui bagaimana cara-cara yang tepat untuk menjaga kelestarian Bahasa Jawa Krama Inggil dari ancama kepunahan di era globalisasi. Dengan kata lain, bahasa daerah merupakan aset dunia yang wajib dipertahankan dan juga memiliki banyak kearifan lokal yang layak dipahami anggota komunitasnya.

3. Kesimpulan
Kepunahan Bahasa Jawa Krama Inggil di era globalisasi seakan menjadi pekerjaan rumah (PR) baru bagi para generasi tua. Hadirnya globalisasi membawa dampak positif sekaligus memberi dampak negatif yang sangat besar terhadap kearifan lokal Bahasa Jawa Krama Inggil. Bagaimana tidak, para anak muda jaman sekarang, banyak yang tidak menguasai Bahasa Jawa Krama Inggil. Hal itu disebabkan karena era globalisasi seperti sekarang ini, seperti pemakaian bahasa gaul, bahasa asing, Jelas kondisi ini akan memperparah eksistensi Krama Inggil dan bahkan terancam punah dan menimbulkan tingkah laku seenak sendiri bagi kaum muda. Sehingga banyak para ahli mengatakan bahwa, “ wong jowo ilang jowone,” yang bersuber dari fakta akan ketidak pedulian masyarakatnya terhadap keberadaan Bahasa Krama Inggil.
Untuk melestarikan Bahasa Krama Inggil maka peran seluruh lapisan masyarakat Jawa– seperti para orang tua, pemerintah dan juga generasi muda, menjadi titik pusat untuk mempertahankan Bahasa Krama Inggil. Jika bahasa krama inggil punah maka satu peradaban akan ikut punah. Maka untuk Menjaga dan melestarikan bahasa Jawa Krama Inggil dari kepunahan tidaklah mudah. Maka dari itu, dengan mengetahui cara yang tepat untuk melestarikan bahasa tersebut dari ancaman kepunahan seperti mengajarkan dan membiasakan menggunakannya dalam kehidupan sehari merupakan cara terbaik untuk menjaga eksistensi bahasa Jawa Krama Inggil dari kematian.

4.   DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, A. & Agustina, L. 2010. Sociolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton  Crista, Janny.
Crista, Janny. 2012. Bahasa dan Kebudayaan Sosiolinguistik. (Online),    (http://wwwkedaiilmujani.blogspot.com/2012/05/bahasa-dan-kebudayaasosiolinguistik.html), diakses pada tanggal 03 Mei 2015.
Darmojuwono, Setiawan. 2011. Jurnal Masyarakat Linguistik: Peran Unsur Etnopragmatis dalam Komunikasi Masyarakat Multikultural. ISSN: 0215-4846. (Elektronik Pdf), diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
Herman, Rn. 2009. Antara Bahasa dan Budaya. (Online), (http://lidahtinta.worpress.com/2009/05/30/antara-bahasa-dan-budaya), diakses pada tanggal 05 mei 2015.

Ibrahim, Gamil. 2010. Bahasa Daerah Lampung Terancam Punah. (Online), (http://gamil-opinion.blogspot.com/2010/02/20), diakses pada tanggal  05 Mei 2015.

Kridalaksana, Harimurti.1982. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta: Universitas Indonesia
Laksono, Kisyani. Tanpa tahun. Pelestarian Dan Pengembangan Bahasa-Bahasa Daerah Di Indonesia. (Online), (http://laksono.blogspot.com/), diakses pada tanggal 20 maret 2015.

Pandharipande, R. V.2002. International Journal On Multicultural Societies: Minority Matters Issues in Minority Languages in India. Dalam Chaklader, S. (Eds). 1981. Linguistic Minority As a Cohesive Force In Indian Federal Process. 4 (2). (Elektronik Pdf), diakses pada tanggal 03 November 2014.
Unecso. 2012. Bahasa Daerah Indonesia Terancam Punah:  Penyebab Kepunahan Bahasa. (Online), (http://vinianisya.blogspot.com/2012/03/bahasa-daerah-di-indonesia-terancam.html), diakses pada tanggal 05 Mei 2015.